Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kondisi
Kekayaan sumberdaya hayati Indonesia saat ini diperkiraan sedang
mengalami penurunan dan kerusakan. Krisis keanekaragaman hayati ini bisa
disebabkan oleh berbagai faktor , yang satu dengan yang lainnya saling
berkaitan. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu
faktor teknis dan faktor struktural.
1. Faktor Teknis
Ada 3 (tiga) aspek yang masuk kedalam kategori faktor teknis yaitu
kegiatan manusia, teknologi yang digunakan, dan kondisi alam itu
sendiri. Ketiga aspek ini diperkirakan mampu menimbulkan kerusakan dan
kepunahan keanekaragaman hayati seperti yang diuraikan berikut ini:
a. Faktor kegiatan Manusia
- Kesadaran, pemahaman dan kepedulian yang rendah
- Pemanfaatan berlebih
- Pemungutan dan perdagangan ilegal
- Konversi habitat alami
- Monokulturisme dalam budidaya dan pemanfaatan
- Tekanan penduduk
- Kemiskinan dan keserakahan
b. Pemilihan Teknologi
Beberapa jenis teknologi, teknik dan alat untuk pemanfaatan
keanekaragaman hayati dapat menimbulkan kerusakan pada ekosisem. Jenis
alat yang diketahui merusak habitat sumber daya hayati pesisir adalah
penggunaan alat pengumpul ikan, bahan peledak, bahan beracun dan pukat
harimau.
Di bidang pertanian, teknologi pertanian yang intensif, misalnya
revolusi hijau (untuk padi) dan revolusi biru (untuk pertambakan udang)
telah mengubah cara budidaya polikultur yang kaya spesies dan kultivar
dengan budidaya monokultur.
Di laut, sumber pencemaran adalah tumpahan minyak dari kapal, dan
kegiatan industri. Sedangkan diperairan tawar, sumber pencemar
kebanyakan dari limbah kegiatan industri dan rumah tangga.
c. Faktor Alam
Salah satu faktor alam yang bisa mempengaruhi kerusakan dan
penyusutan keanekaragaman hayati ialah Perubahan iklim global. Perubahan
iklim global, yang disebabkan antara lain oleh pemanasan global,
mempunyai pengaruh pada sistem hidrologi bumi, yang pada gilirannya
berdampak pada struktur dan fungsi ekosistem alami dan penghidupan
manusia. Beberapa tahun terakhir ini, perubahan iklim telah berdampak
pada pertanian, ketahanan pangan, kesehatan manusia dan permukiman
manusia, lingkungan, termasuk sumber daya air dan keanekaragaman hayati.
Dampak yang mudah terlihat adalah frekuensi dan skala banjir dan musim
kering yang panjang, yang terjadi di banyak bagian dunia, termasuk
Indonesia.
2. Faktor Struktural
Ada dua akar persoalan atau masalah struktural. Pertama, paradigma
pembangunan yang dianut oleh pemerintah selama era 1970-an hingga
1990-an dan kedua, belum terbentuk tata kelola (good governance) yang
baik.Kedua pangkal persoalan tersebut menimbulkan masalah struktural di
bawah ini:
a. Kebijakan Eksploitatif , Sentralistik, Sektoral dan Tidak Partisipatif
Paradigma pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah untuk melakukan
sentralisasi pelaksanaan pembangunan dan penguasaan sumber daya untuk
pembangunan, termasuk sumber daya alam (Barber , 1996).
b. Sistem Kelembagaan yang Lemah
Indonesia belum mempunyai sistem yang kuat dan efektif untuk
pengelolaan keanekaragaman hayati. Akibatnya, perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati belum terpadu.
Pengelolaan keanekaragaman hayati dilakukan oleh berbagai lembaga tanpa
mempunyai wewenang hukum yang jelas.Koordinasi dan integrasi program di
antara para pengelola amat lemah, salah satunya karena tidak ada arahan
nasional yang kuat dan diakui yang mendasari perencanaan setiap sektor .
Akibatnya keputusan yang dibuat sering parsial, seperti yang telah
diuraikan di atas, dan bahkan keputusan satu sektor bisa bertentangan
dengan sektor lainnya (Wetlands Indonesia Programme, 2003).
Kelemahan di segi kelembagaan juga mempengaruhi koordinasi
pelaksanaan kewajiban terhadap berbagai konvensi internasional, misalnya
KKH, Konvensi Ramsar dan CITES. Koordinasi dan integrasi program di
antara para pengelola amat lemah, salah satunya karena tidak ada arahan
nasional yang kuat dan diakui yang mendasari perencanaan setiap sektor.
Akibatnya keputusan yang dibuat sering parsial, seperti yang telah
diuraikan di atas, dan bahkan keputusan satu sektor bisa bertentangan
dengan sektor lainnya (Wetlands Indonesia Programme, 2003).
c. Sistem dan penegakan hukum yang lemah
Pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari sulit terjadi
karena sistem dan instrumen hukum yang ada masih lemah. Lembaga
penegakan hukum sering tidak memahami substansi hukum yang terkaitan
dengan keanekaragaman hayati. Sistem judisial juga belum profesional dan
otonom sehingga menyulitkan penegakan hukum. Semuanya ini diperparah
oleh keterbatasan dana, sumber daya manusia serta infrastruktur yang
memadai untuk penegakan hukum (KLH, 2002).
Karena perumusan kebijakan sering tidak melibatkan partisipasi
publik, kalangan masyarakat tidak mengetahui adanya kebijakan tersebut,
sehingga tidak dapat membantu penegakannya. Lebih jauh, kadang-kadang
aparat di daerah tidak mengetahui atau tidak peduli dengan kebijakan
yang telah dibuat di pusat. Dan yang terakhir , banyak kebijakan berbeda
dari hukum adat yang berlaku di masyarakat sehingga kadang-kadang sulit
diterima oleh masyarakat.
Sampai Kapankah akan terus seperti ini, tergantung pada kita mau
seperti apa masa depan sumber daya alam Indonesia, semakin diperbaiki
ataukan malah semakin hancur.. !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar