Rabu, 15 Juni 2016

Transfer Pricing

Jurnal 1
The International Transfer-Pricing Debate
Carl F. Steiss and Luc Blanchette
Background
The application of transfer-pricing techniques has often been described as an art rather than a science. Yet, whatever the fundamentals applied to the practice of the “art,” the immense surge of interest in recent years and ongoing expressed concerns by governments and taxpayers have cast doubt upon and initiated serious re-examination of those fundamentals.
In this article, the term “transfer pricing” refers to pricing between related entities and establishments of a multinational enterprise, particularly with respect to sales of tan-gible property and sales and licensing of intangible property crossing borders. Related, of course, to the subject of transfer pricing are cost-sharing arrangements among related members of a multinational. The subject of cost sharing is not specifically considered in this article.
Starting with this initial reference point, we have organized the discus-sion that follows into three main segments:
an overview of the highlights of US transfer-pricing history,
a review of the Canadian scene, and
observations on some of the more apparent areas of interest and concern as we move forward.

Purpose
Interest and debate have been particularly vigorous in the United States, and a series of developments in that country has in turn triggered a comprehensive review of related-party pricing and transactions by the OECD. In the past decade or so, Canada has not been idle in this area. It has responded to developments abroad and intensified its own efforts through legislative and other initiatives with respect to the monitoring and review of related-party transfer-pricing
methods. As we look ahead, many uncertainties remain. There can be little doubt that transfer pricing will continue to be a subject of keen interest to governments and multinationals for some time to come.
Analysis
, the arm’s-length standard is the primary basis in most devel-oped nations for assessing reasonableness in related-party dealings. The standard has surfaced in most bilateral income tax conventions, and the concept is firmly entrenched in the OECD model income tax treaty. Congress expressed interest in and concern about transfer pricing as early as 1917. The commissioner of internal revenue was authorized to force worldwide consolidation of affiliated groups if he believed it necessary in order to “equitably determine the invested capital or taxable earnings” of a related corporate group. The business climate within which US, as well as foreign-based, MNEs were operating was dramatically changing. The economic resurgence fol-lowing World War II, as well as the ongoing economic surge of the 1960s, was creating a very different economic order. With the assistance of tre-mendous advances in communication, the world was entering the global village era; international trade and cross-border investment accelerated at an unparallelled pace. National issues were emerging, involving taxing prerogatives and the determination of appropriate income allocations of MNEs within countries and across international boundaries. Societies and economies were becoming much more interdependent: people, goods, capi-tal, and technology were moving unimpeded across borders, and transfer-pricing issues and concerns were attracting more and more atten-tion. Whereas historically international trade had for the most part involved the shipment of finished products, the new trend among MNEs was to coordinate multiple cross-border transfers of components, which would ultimately be delivered to one destination and there assembled into a final product. MNEs were unbundling and centralizing varied activities in cho-sen countries. Location decisions were sensitive to such factors as cost, availability of labour, accessibility to financial markets, and, of course, fiscal policy. The fiscal scene itself revealed significant disparities in tax rates among developed nations and an emerging desire among developing nations to ensure appropriate allocations of income.

Object of Research
The subject of related-party transfer pricing is inextricably involved in all international transactions within a global corporate group, and it has emerged as one of today’s most vital considerations and concerns for many multinational enterprises. Recently, transfer pricing has taken on added significance as countries involved in expanding international trade display increasing aggressiveness in competing for tax revenues and protecting their tax bases. Interest and debate have been particularly vigorous in the United States, and a series of developments in that country has in turn triggered a comprehensive review of related-party pricing and transactions by the OECD. In the past decade or so, Canada has not been idle in this area. It has responded to developments abroad and intensified its own efforts through legislative and other initiatives with respect to the monitoring and review of related-party transfer-pricing
Conclusion
It seems inevitable that activity in the transfer-pricing arena will con-tinue. Some comfort can be taken from the fact that the OECD has updated its guidelines and provided primary references to support related-party pricing approaches. Furthermore, and perhaps particularly appropriate to more complex pricing matters, the negotiation of APAs may prove a use-ful and pragmatic solution in the more troublesome situations. Historical solutions to significant cross-border disputes—notably, competent au-thority resolutions—may not be as feasible as they have been in the past. Recourse to arbitration may prove an effective alternative. However, for many MNEs, there may be no attractive solution in the event of a transfer-pricing dispute: the stakes can be very high and the process, if not the outcome, extremely disruptive. With the enactment of the new US law and the publication of the OECD 1995 guidelines, the rules of the game for MNEs have changed significantly. The primary defence of the MNE against challenges of re-lated-party pricing will be to ensure that transactions within the group are “demonstrably” at arm’s length. What might have been appropriate in the past will, in most instances, not suffice in the future.


Jurnal 3

ADVANCE PRICING AGREEMENT

DAN PROBLEMATIKA TRANSFER PRICING DARI PERSPEKTIF PERPAJAKAN INDONESIA
Iman Santoso
Latar Belakang
Transfer pricing merupakan isu klasik di bidang perpajakan, khususnya menyangkut transaksi internasional yang dilakukan oleh korporasi multinasional. Dari sisi pemerintahan, transfer pricing diyakini mengakibatkan berkurang atau hilangnya potensi penerimaan pajak suatu negara karena perusahaan multi-nasional cenderung menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi (high tax countries) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (low tax countries). Di pihak lain dari sisi bisnis, perusahaan cenderung berupaya meminimalkan biaya-biaya (cost efficiency) termasuk di dalamnya minimalisasi pembayaran pajak perusahaan (corporate income tax). Bagi korporasi multinasional, perusahaan berskala global (multi-national corporations), transfer pricing dipercaya menjadi salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas.

Di tengah dua pandangan yang berlawanan tadi, tulisan ini mencoba menguraikan lebih jauh mengenai solusi yang dicoba ditawarkan UU Pajak Penghasilan yang berlaku (UU Nomor 17 Tahun 2000) terhadap isu ketidak-wajaran harga transaksi yang berpengaruh signifikan dalam perhitungan pajak, terutama pajak penghasilan (PPh) badan, yaitu: Advance Pricing Agreement (APA). APA dijadikan salah satu upaya penanganan rekayasa transfer pricing dengan maksud untuk menyelaraskan sistem perpajakan Indonesia dengan perkembangan perpajakan internasional, disamping untuk mengatasi kebuntuan sehubungan dengan kurangnya akses data eksternal dan tidak efektifnya exchange of information antarnegara khususnya dalam melaksanakan pemerik-saan pajak sehubungan dengan transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan pihak-pihak di luar negeri.

Mekanisme APA memberikan wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menutup kesepakatan harga transfer (APA) dengan wajib pajak yang bersangkutan (unilateral) atau dengan negara terkait (bilateral).

Tujuan
Transfer pricing dapat dilakukan dengan motivasi pajak, yang bertujuan menggeser beban pajak dari negara dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak rendah. Pergeseran ini diyakini dapat menghilangkan potensi penerimaan pajak suatu negara. Untuk mencegah praktek transfer pricing dengan motivasi pajak ini, Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia mengatur tentang Advance Pricing Agreement, yang adalah kesepakatan harga antara Wajib Pajak dengan aparat pajak mengenai harga jual wajar atas produk yang dihasilkannya
Analisis
PT A memiliki 25% saham PT B. Atas penyerahan barang PT A ke PT B, PT A membebankan harga jual Rp 160, - per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama kepada PT X (tidak ada hubungan istimewa) yaitu Rp 200, per unit. Perlakuan perpajakannya adalah: dalam contoh tersebut, harga pasar sebanding (comparable uncontrolled price) atas barang yang sama adalah yang dijual kepada PT X yang tidak ada hubungan istimewa. Dengan demikian harga yang wajar adalah Rp 200,- per unit. Harga ini dipakai sebagai dasar perhitungan penghasilan dan/atau pengenaan pajak. Kalau PT A adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), ia harus menyetor kekurangan PPN-nya (dan PPn BM kalau terutang). Atas kekurangan tersebut dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan PT A tidak boleh menerbitkan faktur pajak atas kekurangan tersebut, sehingga tidak merupakan kredit pajak bagi PT B.

kesimpulan
Beberapa hambatan penerapan APA di Indonesia, seperti: (i) kurangnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian khusus di bidang transfer pricing; (ii) sistem pendataan dan dokumentasi yang masih belum memadai dan terorganisir baik; serta (iii) moralitas otoritas fiskal dan wajib pajak yang masih perlu terus-menerus diperbaiki, kiranya tidak dipakai untuk dijadikan alasan agar tidak meneruskan pembenahan prosedur teknis pengajuan APA yang telah dijadikan salah satu alternatif pencegahan praktik transfer pricing pada korporasi multinasional dalam UU Pajak kita.

Pengalaman penerapan APA di negara-negara yang telah lebih dahulu memperkenalkan sistem ini pun harus dipelajari agar implikasinya terhadap korporasi multinasional dan iklim bisnis di Indonesia secara keseluruhan terus membaik. Satu hal yang perlu diingat di dalam penerapan sistem APA ini, bahwasanya bersifat sukarela. Artinya otoritas fiskal Indonesia tidak dapat memaksa atau mewajibkan korporasi multinasional untuk ikut berpartisipasi di dalam program APA ini. Oleh karenanya, keberhasilan sistem APA ini akan sangat tergantung kepada otoritas fiskal untuk membuatnya “menarik”.



Senin, 25 April 2016

Perbedaan Translasi dengan Konversi

Perbedaan Translasi dengan Konversi


gdarma1.jpg

Nama Kelompok :
Deni Aulia                  ( 21212826 )
Dian Setyaningrum     ( 22212041)

Kelas : 4EB13




UNIVERSITAS GUNADARMA
2016
Translasi mata uang asing adalah proses penyajian ulang informasi laporan keuangan dari satu mata uang ke mata uang lainnya. Sedangkan konversi antar mata uang asing adalah pertukaran fisik antara satu mata uang ke mata uang lainnya.
Isu kurs dikombinasikan dengan berbagai methode translasi yang dapat digunakan dan perlakuan “Laba/Rugi” translasi yang berbeda membuat perbandingan hasil-hasil laporan keuangan dari satu perusahaan ke perusahaan lain atau perusahaan yang sama dalam periode yang berbeda menjadi hal yang sulit.
Adapun alasan untuk melakukan translasi adalah (Choi, Frost, dan Meek, 1999):
1. Untuk mencatat transaksi- transaksi mata uang asing
2. Untuk melaporkan hasil aktivitas cabang dan anak perusahaan di luar negeri
3. Untuk melaporkan hasil-hasil operasi independen di luar negeri.

Terdapat alasan lain dilakukannya translasi mata uang asing, diantaranya :
1.  Perusahaan dengan kegiatan operasional di luar negeri yang signifikan mempersiapkan laporan keuangan gabungan yang informasi laporan kepada  pembaca mengenai operasional perusahaan secara global sehingga diperlukan adanya penyamaan mata uang.
2. Berkomunikasi dengan peminat saham asing. Perusahaan yang melakukan translasi merupakan perusahaan yang dalam bentuk usaha terbuka sehingga laporan keungan dapat dibaca oleh masyarakat umum dengan mudah , sehingga dengan laporan keuangan yang sudah dikonversikan maka akan merangsang investor untuk menanam saham pada perusahaan.
3.  Memperhitungkan efeknya perusahaan terhadap translasi mata uang.
4.  Mencatat transaksi mata uang asing. Transaksi dalam mata uang asing terjadi pada saat suatu perusahaan membeli atau menjual barang dengan pembayaran yang dilakukan dalam suatu mata uang asing atau ketika perusahaan meminjam atau meminjamkan dalam mata uang asing.
5. Translasi mata uang asing dilakukan untuk mempersiapkan laporan keuangan yang memberikan laporan pada pembaca informasi mengenai operasional  perusahaan secara global, dengan memperhitungkan laporan keuangan mata uang asing dari anak perusahaan terhadap mata uang asing induk perusahaan. Translasi tidak harus dibuat oleh perusahaan induk, anak perusahaan dapat membuat laporan keuangan sesuai dengan mata uang yang digunakan perusahaan induk.  Namun apabila perusahaan tersebut merupakan perusahaan tunggal (tidak memiliki anak perusahaan) maka perusahaan tersebut harus mengkonversi nilai nominal atas transaksi – transaksi dengan metode translasi yang berbeda.
Keuntungan dan kerugian translasi mata uang asing:
  1. Penangguhan
Perubahan nilai ekuivalen mata uang domestic dari aktiva bersih anak perusahaan luar negeri tidak direalisasikan dan tidak berpengaruh terhadap arus kas mata uang local yang dihasilkan dari entitas asing. Penyesuaian translasi harus diakumulasikan secara terpisah sebagai bagian dari ekuitas konsolidasi.
  1. Penangguhan dan Amortisasi
Penangguhan keuntungan atau kerugian translasi dan melakukan amortisasi penyesuaian ini selama masa manfaat pos-pos neraca terkait, terutama yang terkait dengan utang akan ditangguhkan dan diamortisasi selama umur aktiva tetap terkait, yaitu dibebankan terhadap laba dengan cara yang sama dengan beban depresiasi atau ditangguhkan dan diamortisasi selama sisa masa pinjaman sebagai penyesuaian terhadap beban bunga.
  1. Penangguhan parsial
Keuntungan dan kerugian translasi adalah dengan mengakui kerugian sesegera mungkin setelah terjadi, tetapi mengakui keuntungan hanya setelah direalisasikan, hal ini semata-mata hanya karena merupakan keuntungan, tetap mengabaikan terjadinya perubahan kurs.
  1. Tidak ditangguhkan
Mengakui keuntungan dan kerugian translasi dalam laporan laba rugi sesegera mungkin. Namun, memasukkan keuntungan dan kerugian translasi dalam laba tahun berjalan akan memperkenalkan elemen acak ke dalam laba sehingga dapat menghasilkan fluktuasi laba yang sangat signifikan apabila terjadi perubahan kurs nilai tukar.
Keuntungan dan kerugian translasi ini mencerminkan kenaikan atau penurunan ekuitas investasi dalam mata uang domestic dan harus diakui.
Metode Translasi Mata Uang Asing:
Perusahaan yang beroperasi secara internasional menggunakan berbagai metode untuk menyatakan laporan keuangannya dalam mata uang asing menjadi mata uang domestik. Metode translasi ini terdiri dari dua jenis, yaitu:
1.      Metode Kurs Tunggal
Kurs terkini atau kurs penutupan untuk seluruh aktiva dan kewajiban lancar. Pendapatan dan beban dalam mata uang asing umumnya ditranslasikan dengan menggunakan kurs nilai tukar yang berlaku pada saat pos-pos tersebut diakui. Umumnya ditranslasikan dengan menggunakan rata-rata tertimbang kurs nilai tukar yang tepat untuk periode tersebut. Metode kurs kini mengansumsikan bahwa seluruh aktiva dalam mata uang lokal menghadapi resiko nilai tukar karena kurs nilai kini mengubah seluruh aktiva kini luar negeri setiap terjadi perubahan nilai tukar. Dengan mentranslasikan seluruh saldo dalam mata uang asing dengan menggunakan kurs kini menghasilkan keuntungan dan kerugian translasi setiap kali terjadi perubahan kurs nilai tukar.
2.      Metode Kurs Berganda
Metode ini menggabungkan kurs nilai tukar historis dan kurs nilai tukar kini dalam proses translasi. Metode ini terbagi atas tiga metode yaitu :
a.       Metode Kini – non kini (lancar-tidak lancar)
Aktiva lancar dan kewajiban lancar anak perusahaan luar negeri ditranslasikan ke dalam mata uang pelaporan induk perusahaannya berdasarkan kurs kini. Aktiva dan kewajiban tidak lancar ditranslasikan berdasarkan kurs historis. Pos-pos pelaporan laba rugi (kecuali depresiasi dan amortisasi) ditranslasikan sebesar kurs rata-rata yang berlaku. Beban depresiasi dan amortisasi ditrasnalasikan sebesar kurs historis yang tercatat saat aktiva tersebut diperoleh. Metode ini tidak mempertimbangkan unsur ekonomis.
b.      Metode Moneter – Non Moneter
Menggunakan skema klasisifikasi neraca untuk menentukan kurs klasifikasi transalasi yang tepat. Aktiva dan kewajiban moneter ditranslasikan berdasarkan kurs kini. Pos-pos non moneter, aktiva tetap, investasi jangka panjang dan persediaan investor ditranslasikan dengan menggunakan kurs historis. Pos-pos laporan laba rugi ditranslasikan dengan menggunakan prosedur yang sama dengan konsep kini-nonkini. Metode ini akan mendistorsikan marjin laba karena menandingkan penjualan berdasarkan harga dan kurs translasi kini dengan biaya penjualan yang diukur sebesar biaya perolehan dan kurs translasi historis.
c.       Metode temporal
Translasi mata uang merupakan proses konversi pengukuran atau penyajian ulang nilai tertentu. Metode ini tidak mengubah atribut suatu pos yang diukur, melainkan hanya mengubah unit pengukuran. Translasi saldo-saldo dalam mata uang asing menyebabkan pengukuran ualang dominasi pos-pos tersebut, tetapi bukan penilaian sesungguhnya. Kas diukur bedasarkan jumlah yang dimiliki pada tanggal neraca. Piutang dan utang dinyatakan sebesar jumlah yang diperkirakan akan diterima atau akan dibayarkan pada saat jatuh temponya. Aktiva dan kewajiban lain-lain diukur sebesar harga utang saat pos-pos tersebut diakuisisi atau terjadi (harga historis). Namun demikian, beberapa pos diukur sebesar harga yang terjadi per tanggal laporan keuangan (harga kini), seperti persediaan berdasarkan aturan mana yang lebih rendah antara biaya perolehan atau harga pasar.

Perbedaan antara translasi dan konversi adalah translasi hanyalah perubahan satuan unit moneter, misalnya pada sebuah necara yang dinyatakan dalam mata uang pound Inggris disajikan ulang ke dalam  nilai ekuivalen mata uang dolar AS. Tidak ada pertukaran fisik yang terjadi, dan tidak ada transaksi akuntansi atas pertukaran tersebut yang terjadi. Konsep translasi mata uang asing analogis dengan penerjemahan sebuah buku dari bahasa inggris ke dalam bahasa indonesia. Sedangkan konversi, memungkinkan adanya pertukaran fisik yang terjadi dan ada transaksi terkait yang terjadi.
Saldo-saldo dalam mata uang asing ditranslasikan menjadi nilai ekuivalen mata uang domestic berdasarkan kurs nilai tukar valuta asing yaitu harga satu unit suatu mata uang yang dinyatakan dalam mata uang lainnya. Mata uang Negara dagang utama dibeli dan dijual dalam pasar global. Dengan dihubungkan lewat jaringan telekomunikasi yang canggih, para pelaku pasar mencakup bank dan perantara mata uang lainnya, kalangan usaha, para individu, dan pedagang professional.
Transaksi mata uang asing terjadi pada pasar spot, forward, atau swap. Mata uang yang dibeli atau dijual pada spot umumnya harus dikirimkan secepatnya, yaitu dalam waktu 2 hari kerja. Kurs pasar spot dipengaruhi oleh banyak factor, termasuk perbedaan tingkat inflasi antar Negara, perbedaan suku bunga nasional dan ekspektasi terhadap arah nilai tukar di masa mendatang. Transaksi pada pasar forward adalah perjanjian untuk melakukan pertukaran suatu mata uang dengan jumlah tertentu ke dalam mata uang lain pada suatu tanggal di masa depan. Kuotasi pada pasar forward dinyatakan dengan diskonto atau premium dari kurs spot.
Transaksi swap melibatkan pembelian spot dan penjualan forward atau penjualan spot atau pembelian forward, atas suatu mata uang secara bersamaan. Investor sering memanfaatkan transaksi swap untuk mengambil keuntungan dari tingkat suku bunga yang lebih tinggi di suatu Negara asing, dalam kesempatan yang sama melindungi diri terhadap pergerakan yang tidak menguntungkan dari kurs nilai tukar valuta asing.
Contoh dari Konversi mata uang asing misalnya :
Seorang warga negara AS yang berlibur di Indonesia akan mengkonversi dollar ke dalam  rupiah jika ia ingin membeli produk dijual di Indonesia yang dinyatakan dalam rupiah.
Contoh dari Translasi mata uang asing yaitu:
Dalam era perdagangan global saat ini, banyak perusahaanperusahaan yang memiliki operasi di luar negeri dengan mata uang yang berbeda dari mata uang perusahaan induknya. Untuk menyajikan laporan keuangan konsolidasi perlu memakai mata uang yang homogen. Untuk itu perlu ditentukan satu mata uang tunggal dan mata uang asing yang dimiliki anak perusahaan harus dilakukan proses penyajian kembali ke dalam mata uang yang telah ditentukan tersebut. Proses inilah yang dikenal dengan istilah translasi.

 Istilah dalam translasi mata uang asing
1.      Konversi, merupakan pertukaran suatu mata uang ke dalam mata uang lain.
2.      Kurs kini, merupakan nilai tukar yang berlaku pada tanggal laporang keuangan yang relevan.
3.      Posisi aktiva bersih yang beresiko, merupakan kelebihan aktiva yang diukur dalam atau berdenominasi dalam mata uang asing dan di translasikan dengan menggunakan kurs kini dari kewajiban yang diukur atau berdenominasi dalam mata uang asing dan ditranslasikan dengan menggunakan kurs kini.
4.      Kontrak pertukaran forward,merupakan suatu perjanjian untuk mempertukarkan mata uang dari Negara yang berbeda dengan menggunakan kurs tertentu (kurs forward) pada tanggal tertentu di masa depan.
5.      Mata uang fungsional, merupakan mata uang utama yang digunakan oleh suatu perusahaan dalam menjalankan kegiatan usaha. Biasanya mata uang tersebut adalah mata uang Negara dimana perusahaan itu berlokasi.
6.      Kurs histories, merupakan kurs nilai mata uang asing yang digunakan pada saat suatu aktiva atau kewajiban dalam mata uang asing dibeli atau terjadi.
7.      Mata uang pelaporan, merupakan mata uang yang digunakan perusahaan dalam menyusun laporan keuangan.
8.      Kurs spot, merupakan nilai tukar untuk pertukaran mata uang dalam waktu segera.
9.      Penyesuaian translasi, merupakan penyesuaian yang timbul dari proses translasi laporan keuangan dari mata uang fungsional suatu perusahaan menjadi mata uang pelaporannya.
       Daftar istilah translasi mata uang asing yang diadaptasi dari PSAK (SFAS) no.52, 1981.
  1. Atribut, karakteristik kuantitatif suatu pos yang diukur untuk keperluan akuntansi. Contoh, biaya histories dan biaya penggantian yang merupakan atribut suatu aktiva.
  2. Konversi, pertukatan suatu mata uang ke dalam mata uang lain.
  3. Kurs kini, nilai tukar yang berlaku pada tanggal laporan keuangan yang relevan.
  4. Diskonto, ketika tingkat pertukaran yang berikutnya lebih rendah daripada tingkat yang berlaku sekarang.
  5. Posisi aktiva bersih yang beresiko, kelebihan aktiva yang diukur dalam atau berdenominasi dalam mata uang asing dan ditranslasikan dengan menggunakan kurs kini dari kewajiban yang diukur atau berdenominasi dalam mata uang asing dan ditranslasikan dengan menggunakan kurs kini.
  6. Mata uang asing, suatu mata uang selain mata uang yang digunakan oleh suatu Negara, mata uang selain mata uang pelaporan yang digunakan oleh perusahaan.
  7. Laporan keuangan dalam mata uang asing, laporan keuangan yang menggunakan mata uang asing sebagai unit pengukuran.
  8. Transaksi mata uang asing, transaksi (yaitu penjualan atau pembelian barang atau jasa, atau utang pinjaman atau piutang usaha) dengan syarat-syarat yang dinyatakan dalam mata uang selain mata uang fungsional perusahaan.
  9. Translasi mata uang asing, proses untuk menyatakan jumlah-jumlah yang berdenominasi atau diukur dalam suatu mata uang ke dalam mata uang yang lain dengan menggunakan kurs nilai tukar diantara dua mata uang tersebut.
  10. Operasi luar negri, suatu operasi yang menghasilkan laporan keuangan yang (1) dikombinasikan atau dikonsolidasikan atau diperhitungkan berdasarkan metode ekuitas dalam laporan keuangan perusahaan pelapor dan (2) disusun dalam mata uang asing selain mata uang pelaporan perusahaan pelapor.
  11. Kontak pertukaran forward, suatu perjanjian untuk mempertukarkan mata uang dari Negara yang berbeda dengan menggunakan kurs tertentu (kurs forward) pada tanggal tertentu di masa depan.
  12. Mata uang fungsional, mata uang utama yanga digunakan oleh suatau perusahaan dalam menjalankan kegiatan usaha, dan dalam menghasilkan atau menggunakan kasnya.
  13. Kurs histories, kurs nilai tukar mata uang asing yang digunakan pada saat suatu aktiva atau kewajiban dalam mata uang asing dibeli atau terjadi.
  14. Mata uang local, mata uang suatu Negara tertentu yang digunakan; mata uang pelaporan yang digunakan oleh suatu operasi domestic atau luar negeri.
  15. Pos-pos moneter, kewajiban untuk membayar atau hak untuk menerima sejumlah unit mata uang dalam nilai yang tetap di masa depan.
  16. Mata uang pelaporan, mata uang yang digunakan perusahaan dalam menyusun laporan keuangan.
  17. Tanggal penyelesaian, tanggal saat suatu utang dibayarkan oleh suatu piutang tertagih.
  18. Kurs spot, nilai tukar untuk pertukaran mata uang dalam waktu segera.
  19. Tanggal transaksi, tanggal saat suatu transaksi dicatat dalam catatan akuntansi perusahaan pelapor.
  20. Penyesuaian translasi, penyesuaian yang timbul dari proses translasi laporan keuangan dari mata uang fungsional suatu perusahaan menjadi mata uang pelaporannya.
  21. Unit pengukuran, mata uang yang digunakan untuk mengukur aktiva, kewajiban, pendapatan dan beban.



























Daftar Pustaka



Sari, Diana. 1999. Translasi Mata Uang Asing:Jurnal Akuntansi

Tan, Yuliawati. 2001. Mata Uang Fungsional sebagai Mata Uang Pelaporan dan Pencatatan sesuai PSAK 52 : Volume 10 No. 1

https://andamifardela.wordpress.com/2011/05/11/translasi-mata-uang-asing/

Rabu, 30 Maret 2016

Perbandingan Sistem Akuntansi Indonesia dengan Sistem Akuntansi Belanda

“Perbandingan Sistem Akuntansi Indonesia dengan Sistem Akuntansi Belanda”

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAHu-uY0gbm_9t9nqiwoSIeiA_iEVZ1KrVZ_aGSAIhHiMuD4VIb2Jjmn5sJOLqE_Mrl-vVH_TF_YGxykR-dU7kB8iosKa6wZvPyw9Jf2j08cSl1-AAKkFjTh_HgcUoCbEPyW647YQCO6TJ/s1600/gunadarma.png


Nama Kelompok 2:

Buldan Abdul Latif    (21212525)
Dede Tantan Nuryana (21212783)
Deni Aulia                   (21212826)
Dian Setyaningrum     (22212041)

4EB13





UNIVERSITAS GUNADARMA
2016


1.         Latar Belakang
Akuntansi Internasional adalah akuntansi untuk transaksi internasional, perbandingan prinsip akuntansi antarnegara yang berbeda. Akuntansi harus berkembang agar mampu memberikan informasi yang diperlukan dalam pengambilan keputusan di perusahaan pada setiap perubahan lingkungan bisnis.
Klasifikasi merupakan dasar untuk memahami dan menganalisis sistem akuntansi nasional berbeda-beda dan cenderung menyatu atau berbeda. Tujuan klasifikasi adalah untuk mengelompokkan sistem akuntansi keuangan, di mana sistem akuntansi memiliki kesamaan dan apa yang membedakan sistem akuntansi negara satu sama lain. Proses akuntansinya tidaklah berbeda dan dengan kualifikasi standar pelaporan tertentu yang diatur secara internasional maupun local pada negara tertentu. Tapi penting untuk diketahui mengenai dimensi internasional dari proses akuntansi pada dua negara yang berbeda terdapat kesamaan maupun perbedaan diantaranya. Hal ini disebabkan oleh faktor sejarah dan kebutuhan serta kondisi dimana akuntansi itu tumbuh dan berkembang.

2.         Sejarah
2.1       Sejarah Sistem Akuntansi di Indonesia
Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusur pada era penjajahan Belanda sekitar 17 (ADB 2003) atau sekitar tahun 1642 (Soemarso 1995). Jejak yang jelas berkaitan dengan praktik akuntansi di Indonesia dapat ditemui pada tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Sociteyt yang berkedudukan di Jakarta (Soemarso 1995). Pada era ini Belanda mengenalkan sistem pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping) sebagaimana yang dikembangkan oleh Luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda-yang merupakan organisasi komersial utama selama masa penjajahan-memainkan peranan penting dalam praktik bisnis di Indonesia selama era ini (Diga dan Yunus 1997). Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun 1800an dan awal tahun 1900an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanmkan modalnya di Indonesia. Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga akuntan dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing mulai dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995). Peluang terhadap kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil dan perusahaan manufaktur (Yunus 1990). Internal auditor yang pertama kali datang di Indonesia adalah J.W Labrijn-yang sudah berada di Indonesia pada tahun 1896 dan orang pertama yang melaksanakan pekerjaan audit (menyusun dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schagen yang dikirim ke Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995).
Pengiriman Van Schagen merupakan titik tolak berdirinya Jawatan Akuntan Negara- Government Accountant Dienst yang terbentuk pada tahun 1915 (Soermarso 1995). Akuntan publik yang pertama adalah Frese & Hogeweg yang mendirikan kantor di Indonesia pada tahun 1918. Pendirian kantor ini diikuti kantor akuntan yang lain yaitu kantor akuntan H.Y.Voerens pada tahun 1920 dan pendirian Jawatan Akuntan Pajak-Belasting Accountant Dienst (Soemarso 1995). Pada era penjajahan, tidak ada orang Indonesia yang bekerja sebagai akuntan publik. Orang Indonesa pertama yang bekerja di bidang akuntansi adalah JD Massie, yang diangkat sebagai pemegang buku pada Jawatan Akuntan Pajak pada tanggal 21 September 1929 (Soemarso 1995).
Kesempatan bagi akuntan lokal (Indonesia) mulai muncul pada tahun 1942-1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Pada tahun 1947 hanya ada satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari (Soermarso 1995). Praktik akuntansi model Belanda masih digunakan selama era setelah kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi oleh sistem akuntansi model Belanda. Nasionalisasi atas perusahaan yang dimiliki Belanda dan pindahnya orang orang Belanda dari Indonesia pada tahun 1958 menyebabkan kelangkaan akuntan dan tenaga ahli (Diga dan Yunus 1997).
Atas dasar nasionalisasi dan kelangkaan akuntan, Indonesia pada akhirnya berpaling ke praktik akuntansi model Amerika. Namun demikian, pada era ini praktik akuntansi model Amerika mampu berbaur dengan akuntansi model Belanda, terutama yang terjadi di lembaga pemerintah. Makin meningkatnya jumlah institusi pendidikan tinggi yang menawarkan pendidikan akuntansi-seperti pembukaan jurusan akuntansi di Universitas Indonesia 1952, Institute Ilmu Keuangan (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara-STAN) 1990, Univesitas Padjajaran 1961, Universitas Sumatera Utara 1962, Universitas Airlangga 1962 dan Universitas Gadjah Mada 1964 (Soermarso 1995)- telah mendorong pergantian praktik akuntansi model Belanda dengan model Amerika pada tahun 1960 (ADB 2003). Selanjutnya, pada tahun 1970 semua lembaga harus mengadopsi sistem akuntansi model Amerika (Diga dan Yunus 1997).
Pada pertengahan tahun 1980an, sekelompok tehnokrat muncul dan memiliki kepedulian terhadap reformasi ekonomi dan akuntansi. Kelompok tersebut berusaha untuk menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif dan lebih berorientasi pada pasardengan dukungan praktik akuntansi yang baik. Kebijakan kelompok tersebut memperoleh dukungan yang kuat dari investor asing dan lembaga-lembaga internasional (Rosser 1999). Sebelum perbaikan pasar modal dan pengenalan reformasi akuntansi tahun 1980an dan awal 1990an, dalam praktik banyak ditemui perusahaan yang memiliki tiga jenis pembukuan-satu untuk menunjukkan gambaran sebenarnya dari perusahaan dan untuk dasar pengambilan keputusan; satu untuk menunjukkan hasil yang positif dengan maksud agar dapat digunakan untuk mengajukan pinjaman/kredit dari bank domestik dan asing; dan satu lagi yang menjukkan hasil negatif (rugi) untuk tujuan pajak (Kwik 1994).
Pada awal tahun 1990an, tekanan untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan muncul seiring dengan terjadinya berbagai skandal pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan dan perilaku investor. Skandal pertama adalah kasus Bank Duta (bank swasta yang dimiliki oleh tiga yayasan yang dikendalikan presiden Suharto). Bank Duta go public pada tahun 1990 tetapi gagal mengungkapkan kerugian yang jumlah besar (ADB 2003). Bank Duta juga tidak menginformasi semua informasi kepada Bapepam, auditornya atau underwriternya tentang masalah tersebut. Celakanya, auditor Bank Duta mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian. Kasus ini diikuti oleh kasus Plaza Indonesia Realty (pertengahan 1992) dan Barito Pacific Timber (1993). Rosser (1999) mengatakan bahwa bagi pemerintah Indonesia, kualitas pelaporan keuangan harus diperbaiki jika memang pemerintah menginginkan adanya transformasi pasar modal dari model “casino” menjadi model yang dapat memobilisasi aliran investasi jangka panjang.
Berbagai skandal tersebut telah mendorong pemerintah dan badan berwenang untuk mengeluarkan kebijakan regulasi yang ketat berkaitan dengan pelaporan keuangan. Pertama, pada September 1994, pemerintah melalui IAI mengadopsi seperangkat standar akuntansi keuangan, yang dikenal dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Kedua, Pemerintah bekerja sama dengan Bank Dunia (World Bank) melaksanakan Proyek Pengembangan Akuntansi yang ditujukan untuk mengembangkan regulasi akuntansi dan melatih profesi akuntansi. Ketiga, pada tahun 1995, pemerintah membuat berbagai aturan berkaitan dengan akuntansi dalam Undang Undang Perseroan Terbatas. Keempat, pada tahun 1995 pemerintah memasukkan aspek akuntansi/pelaporan keuangan kedalam Undang-Undang Pasar Modal (Rosser 1999).
Jatuhnya nilai rupiah pada tahun 1997-1998 makin meningkatkan tekanan pada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan. Sampai awal 1998, kebangkrutan konglomarat, collapsenya sistem perbankan, meningkatnya inflasi dan pengangguran memaksa pemerintah bekerja sama dengan IMF dan melakukan negosiasi atas berbagaai paket penyelamat yang ditawarkan IMF. Pada waktu ini, kesalahan secara tidak langsung diarahkan pada buruknya praktik akuntansi dan rendahnya kualitas keterbukaan informasi (transparency). Berikut ini tabel ringkasan perkembangan akuntansi di Indonesia
a)      Zaman VOC dan penjajahan ‘stible dan Stroomberg
Dibuktikan dengan dikeluarkannya instruksi dari Gubernur Jendral mengenai pengurusan pembukuan penerimaan uang, pinjaman-pinjaman, jumlah uang yang diperlikan untuk eksploitasi garnisan-garnisan dan galangan kapal yang ada di Batavia dan Surabaya.
b)      Zaman penjajahan jepang
Hanya terbatas untuk mencatat kegiatan-kegiatan mereka saja
c)      Awal kemerdekaan
Pengaruh Belanda masih sangat kuat. Pendidikan maupun praktek akuntansi masih dipegang orang-orang Belanda/ orang-orang Indonesia dengan pendidikan Belanda. IAI didirikan tanggal 23 Desember 1957 oleh empat orang lulusan FE di UI. Pada zaman ini ikut dikeluarkan UU No.103 tahun 1954 tentang pemakaian gelar akuntan.
d)     Awal Orde Lama
Ditandai dengan adanya pengambil alihan perusahaan-perusahaan Belanda.
e)      Orde Baru
Ditandai dengan masuknya perusahaan-perusahaan penanaman modal. Mereka membawa praktek-praktek akuntansi dari negara mereka.
f)       Agustus 1972
Badan Pembina Pasar Uang dan Modal membentuk Panitia Penghimpunan Bahan-bahan dan Struktur daripada Generally Accepted Accounting Principles dan Generally Accepted Auditing Standarts. Panitia ini menghasilkan konsep Prinsip Akuntansi Indonesia dan Norma Pemeriksaan Akuntan. Dalam kongres ke III IAI (2 Desember 1973) kedua konsep tersebut secara resmi disahkan menjadi Prinsip Akuntansi Indonesia dan Norma Pemeriksaan Akuntan yang berlaku di Indonesia.

2.2       Sejarah Sistem Akuntansi di Belanda
Akuntansi di Belanda memiliki beberapa paradoks yang menarik. Belanda memiliki ketentuan akuntansi dan pelaporan keuangan yang relative permisif, tetapi standar praktik profesional yang sangat tinggi. Belanda merupakan negara hukum kode, namun akuntansinya berorientasi pada penyajian wajar. Di Belanda, akuntansi dianggap sebagai cabang dari ekonomi usaha. Akibatnya, banyak pemikiran ekonomi yang dicurahkan terhadap topik-topik akuntansi dan khususnya terhadap pengukuran akuntansi.
Sejak 1970, diperkenalkan mandatory audit, yang mendorong pembentukan Tripartiet Accounting Group, yang diganti dengan Council of Annual Report th 1981. Regulasi di Belanda tetap liberal sampai tahun 1970 ketika undang-undang laporan keuangan tahunan diberlakukan. Di antara provisi utama undang-undang tahun 1970 tersebut adalah sebagai berikut:         
Laporan keuangan tahunan harus menunjukkan gambaran yang wajar mengenai posisi dan hasil keuangan selama satu tahun.      
Laporan keuangan harus disusun sesuai dengan praktek usaha yang baik
Dasar penyajian aktiva dan kewajiban dan penentuan hasil operasi harus diungkapkan.
Laporan keuangan harus disusun sesuai dengan dasar yang konsisten dan pengaruh material dari perubahan dalam prinsip akuntansi harus diungkapkan secukupnya
Informasi keungan komparatif untuk periode sebelumnya harus diungkapkan dalam laporan keuangan dan catatan kaki yang menyertainya.
Kualitas laporan keuangan Belanda sangat seragam. Laporan keuangan wajib harus disusun dalam bahasa Belanda namun dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman dapat diterima. Laporan keuangan harus memuat hal-hal berikut: neraca, laporan laba rugi, catatan-catatan, laporan direksi, dan informasi lain yang direkomendasikan. Laporan keuangan tahunan harus disajikan baik berdasarkan induk perusahaan saja maupun konsolidasi. Kelompok-kelompok perusahaan untuk tujuan konsolidasi terdiri dari perusahaan-perusahaan yang membentuk unit ekonomi yang berada di bawah kendali yang sama. 
Meskipun metode penyatuan untuk penggabungan usaha dapat digunakan dalam kondisi tertentu, metode tersebut sudah jarang digunakan di Belanda. Goodwill merupakan perbedaan antara biaya akuisisi dengan nilai wajar aktiva dan kewajiban yang dibeli. Fleksibilitas Belanda dalam pengukuran akuntansi dapat terlihat dengan diperbolehkannya penggunaan nilai kini untuk aktiva berwujud seperti persediaan dan aktiva yang disusutkan. Karena perusahaan-perusahaan Belanda memiliki fleksibilitas dalam menerapkan aturan pengukuran, dapat diduga bahwa terdapat kesempatan untuk melakakukan perataan laba. Pos-pos tertentu dapat mengabaikan laporan laba rugi dan langsung disesuaikan terhadap cadangan dalam ekuitas pemegang saham. Hal ini antara lain: 
1.      Kerugian akibat bencana yang tidak mungkin atau tidak umum untuk diasuransikan
2.      Kerugian akibat nasionalisasi atau sejenis penyitaan lainnya
3.      Konsekuensi akibat restrukturisasi keuangan
Mekanisme Pengawasan Akuntansi dan Laporan Keuangan di Negara Belanda Regulator:           
1.      DASB (Dutch Accounting Standards Board)  
2.      AMF (Authority for the Financial Markets)     
3.      Enterprise ChamberNivRA (Netherlands Institute of Registeraccountants)
Regulasi : Act on Annual Financial Statements 1970           
Laporan Keuangan      :
1.     Neraca, laporan laba rugi, catatan, laporan direktur dan informasi lain yang sudah ditentukan, laporan arus kas dianjurkan.     
2.      Perusahaan kecil dibebaskan dari persyaratan audit dan dapat menyusun laba rugi singkat dan neraca. Perusahaan menengah harus diaudit tapi boleh mengeluarkan laporan laba rugi singkat.     
3.    Laporan keuangan dan akuntansi pajak merupakan dua aktivitas yang berbeda. Perusahaan terdaftar harus menggunakan IFRS, tapi semua perusahaan diperbolehkan menggunakan IFRS alih-alih pedoman Belanda.

2.3       Perusahaan Belanda yang berada di Indonesia
·         MRO
Adalah sebuah perusahaan Belanda di bidang keuangan (Bank Belanda), didirikan tahun 1991, berkantor pusat di Amsterdam, Belanda. ABN AMRO menjadi salah satu bank terbesar di Eropa yang beroperasi di 63 negara di seluruh dunia. Tanggal 27 Februari 1826, ABN AMRO didirikan di Indonesia dan terdapat 20 kantor cabang ABN AMRO di 10 kota besar (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Makassar, Manado, Semarang, Solo, Denpasar, dan Balikpapan).        
·         Royal Dutch Shell plc
Adalah perusahaan energi utama (migas) yang didirikan tahun 1907 dan berkantor pusat di Den Haag, Belanda. Perusahaan ini merupakan salah satu peringkat 4 atas perusahaan swasta minyak dan gas di dunia dan memiliki bisnis petrokimia yang cukup besar. Sejak tahun 1928, SCI (Shell Chemicals) beroperasi di Indonesia berupa bisnis perdagangan dalam produk petrokimia, gas & tenaga, penjelajahan dan produksi (E&P) dan SPBU. Di Indonesia, Shell mengoperasikan SPBU sejak 1 November 2005 dan lokasi pertamanya yaitu di Lippo Karawaci, Tangerang. Bahan Bakar yang dijual adalah Shell Super, Shell Super Extra, dan Shell Super Diesel.
·         TNT N. V
Adalah perusahaan internasional bidang kurir yang bermarkas di Hoofddorp, Belanda. Didirikan tahun 1996  dan beroperasi lebih dari 200 negara. TNT mengoperasikan Royal TNT Post BV, TNT Express, TNT Logistics, dan TNT Post yang beroperasi di semua negara-negara di Eropa. Pada tahun 2010, TNT Express Indonesia (TNT) berkonsentrasi meningkatkan pertumbuhan bisnis layanan ke suku cadang otomotif baik untuk mobil penumpang, niaga, maupun alat berat. Jaringan global perusahaan ini lebih di 200 negara, sedangkan di Indonesia terdapat di 33 kota besar dan 17 kantor cabang serta 6 gateway yang dapat mencakup semua daerah di Indonesia termasuk daerah terpencil sekali pun.
·         Unilever     
Unilever dikenal sebagai perusahaan multinasional yang bergerak di bidang produksi barang konsumen dengan markas utama berada di Rotterdam, Belanda. Perusahaan ini berdiri pertama kali tahun 1930 dan dilaporkan mempekerjakan sedikitnya 206.000 pekerja. Di Indonesia sendiri, Unilever didirikan pada 5 Desember 1933 dengan nama Zeepfabrieken N.V. Lever dan berubah nama menjadi PT Lever Brothers Indonesia pada 22 Juli 1980. Kemudian, pada 30 Juni 1997 perusahaan resmi mengganti namanya menjadi PT Unilever Indonesia Tbk dengan 15% saham didaftarkan pada BEJ dan Bursa Efek Surabaya pada tahun 1981. Beberapa merek terkenal dari Unilever Indonesia adalah Rinso, Sunsilk, Dove, dan juga Clear. Beberapa perusahaan lain yang juga merupakan perusahaan Unilever di Indonesia adalah PT Anugrah Lever, PT Technopia Lever, dan PT Knorr Indonesia.

3.         Perkembangan
3.1       Perkembangan Sistem Akuntansi di Indonesia
Dikatakan sebagai berpotensi ekonomi besar, dilihat dari semua ketersediaan sumber daya yang dimiliki Indonesia, baik sumber daya alam maupun manusia. Indonesia menganut sistem code law, dan penyajian laporan keuangannya adalah untuk “penyajian wajar” bukan untuk “kebenaran dan kewajaran”
Pengaturan dan pembinaan Akuntansi
Pengaturan Akuntansi di Indonesia dilakukan oleh IAI yang dibentuk 23 Desember 1957, di bawah pengawasan Depkeu. IAI menyusun SAK dan SPAP. Sebelum kemerdekaan, Indonesia menganut sistem tata buku Belanda, Tetapi  setelah merdeka, pendidikan akuntansi di Indonesia menganut pola Amerika. Tahun 2005, IAI mengadopsi standar IASC dan dituangkan dalam PSAK yang mulai berlaku 1 januari 1995.
Pelaporan Keuangan
Laporan keuangan berikut ini:
1.      Laporan Posisi Keuangan
2.      Laporan laba rugi komprehensif
3.      Laporan perubahan ekuitas
4.    Laporan perubahan posisi keuangan yang dapat disajikan berupa laporan arus kas atau laporan arus dana
5.   Catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan
Pengukuran Akuntansi
1.      Didasarkan padaasumsi going concern, dengan dasar pengukuran akrual basic.
2.     Akuntansi penggabungan usaha dengan metode pooling of interest dan pembelian. Goodwill dikpitalisasi dan diamortisasi maksimal 5 tahun.
3.  Penilaian persediaan dengan metode historical cost, dan revaluasi diperbolehkan saat penggabungan usaha hanya jika menggunakan metode pembelian.
4.      Penilaian persediaan dengan metode FIFO dan average. LIFO diperbolehkan, tetapi tidak diperbolehkan untuk kepentingan perhitungan pajak.
5.  Akuntansi kemungkinan kerugian diakrualkan, leases dikapitalisasi dan pajak yang ditangguhkan diakrualkan.
6.      Teknik income smooting dilarang.
Konvergensi dengan IFRS
Baru sedikit SAK di Indonesia yang sama dengan IFRS, yaitu tentang penyusutan, akuntansi untuk kerugian, leases, pajak yang ditangguhkan dan perataan penghasilan. Aturan yang lain belum sesuai dengan IFRS.

3.2       Perkembangan Sistem Akuntansi di Belanda
Belanda merupakan negara hukum kode, namun akuntasinya berorientasi pada penyajian wajar.  Menganut code law, sehingga pengaturan akuntansi diatur oleh negara. Inggris dan Amerika Serikat telah mempengaruhi akuntanasi Belanda sama seperti Negara-negara Eropa Kontinental lainnya.
Belanda merupakan salah satu pendukung pertama atas standar internasional akuntansi dan pelaporan keuangan.  Belanda juga menjadi tempat bagi beberapa perusahaan multinasional terbesar di dunia,seperti Philips, Royal Dutch/Shell dan Unilever.
Pengaturan dan Pembinaan Akuntansi
Sejak 1970, diperkenalkan mandatory audit, yang mendorong pembentukan Tripartiet Accounting Group, yang diganti dengan Council of Annual Report th 1981.
Pelaporan Keuangan
Kualitas pelaporan keuangan Belanda sangat seragam, laporan keuangan wajib harus disusun dalam bahasa Belanda, namun dalam bahasa Inggris, Perancis, dan Jerman dapat diterima. Laporan Keuangan harus memuat hal-hal berikut :
1.      Neraca
2.      Laporan Laba Rugi
3.      Catatan-catatan
4.      Laporan Direksi
5.      Informasi lain yang direkomendasikan
Laporan arus kas tidak diwajibkan, tetapi direkomendasikan oleh sebuah tuntunan dewan dan kebanyakan perusahaan Belanda membuatnya. Catatan laporan keuangan harus menjelaskan prinsip akuntansi yang digunakan dalam penilaian dan penetapan hasil dan alasan-alasan di balik setiap perusahaan akuntansi yang dilakukan. Laporan direksi mengevaluasi posisi keuangan pada tanggal neraca dan kinerja selama tahun keuangan.
Laporan keuangan tahunan harus disajikan baik berdasarkan induk perusahaan saja maupun konsolidasi.  Perusahaan-perusahaan Belanda pun diperbolehkan untuk menyusun Laporan keuangan dengan menggunakan IFRS atau GAAP AS selain standar Akuntansi Belanda.
Pengukuran Akuntansi
1.      Penggabungan usaha umumnya menggunakan metode pembelian.
2.  Goodwill dikapitalisasikan dan diamortisasi maksimum 20 th Metode ekuitas baru digunakan jika investor berpengaruh secara signifikan
3.      Rekomendasi dewan tentang translasi valas sesuai dengan IAS no 21.
4.  Asset berujud diukur dengan nilai sekarang. Harga historis tetap dicantumkan untuk keperluan pajak.
5.  Karena penerapan aturan yang sangat fleksibel, maka ada peluang untuk praktek perataan penghasilan
Usaha Konvergensi dengan IFRS
1.      Peraturan yang sudah sama : akuntansi penggabungan usaha, pencatatan investasi untuk perusahaan asosiasi, penilaian asset, penyusutan asset tetap, akuntansi kemungkinan kerugian, leases keuangan, pajak tangguhan
2.      Yang belum sama : pencatatan goodwill, penilaian persediaan, perataan penghasilan
Regulasi dan Penegakan Aturan Akuntansi
Regulasi di Belanda tetap liberal hingga tahun 1970 ketika undang-undang Laporan Keuangan Tahunan diberlakukan.  Undang-undang tersebuat merupakan bagian dari program besar perubahan dalam Uni Eropa yang akan terjadi. Provisi utama undang-undang tahun 1970 tersebut, yaitu :
1.    Laporan keuangan tahunan harus menunjukkan gambaran yang wajar mengenai posisi dan hasil keuangan selama satu tahun, dan seluruh pos di dalamnya harus dikelompokkan dan dijelaskan secara memadai .
2.    Laporan keuangan harus disusun sesuai dengan praktik usaha yang baik (yaitu prinsip akuntnasi dapat diterima oleh kalangan usaha)
3.      Dasar penyajian aktiva, kewajiban, dan penentuan hasil operasi harus diungkapkan
4.   Laporan keuangan harus disusun sesuai dengan dasar yang konsisten dan pengaruh material dari perubahan dalam prinsip akuntansi harus diuangkapkan secukupnya.
5.   Informasi keuangan komparatif untuk periode sebelumnya harus diungkapkan dalam laporan keuangan dan  catatan kaki yang menyertainya.
Dewan pelaporan Tahunan mengeluarkan tuntunan terhadap prinsip akuntansi yang dapat diterima (bukan diterima) secara umum, Dewan tersebut memiliki anggota berasal dari tiga kelompok yang berbeda :
1.  Penyusunan laporan keuangan (perusahaan)
2.  Pengguna laporan keuangan (perwakilan serikat buruh dan analis keuangan)
3.  Auditor laporan keuangan (institut Akuntansi Terdaftar Belanda atau NivRA)

4.         Kesimpulan
Setelah memahami sistem akuntansi yang berlaku di kedua negara ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat kesamaan maupun perbedaan diantaranya. Hal ini disebabkan oleh faktor sejarah dan kebutuhan serta kondisi dimana akuntansi itu tumbuh dan berkembang.
Belanda merupakan negara hukum kode, namun akuntansinya berorientasi pada penyajian wajar. Inggris dan Amerika Serikat telah memengaruhi akuntansi Belanda sama seperti negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Belanda merupakan salah satu pendukung pertama atas standar internasional untuk akuntansi dan pelaporan keuangan. Belanda juga menjadi tempat bagi beberapa perusahaan multinasional terbesar di dunia, seperti Philips, Royal Dutch/Shell dan Unilever. Laporan keuangan meliputi neraca, laporan laba/ rugi, catatan, laporan direktur dan informasi lain yang dianggap perlu.
Akuntansi di Indonesia pada awalnya menganut sistem kontinental, seperti yang dipakai di Belanda saat itu. Sistem ini disebut juga dengan tata buku yang sebenarnyatidaklah sama dengan akuntansi. Indonesia menganut sistem code law, dan penyajian laporan keuangannya adalah untuk “penyajian wajar” bukan untuk “kebenaran dan kewajaran” Laporan keuangan di Indonesia meliputi : neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas dan catatan pada laporan keuangan laporan posisi keuangan, laporan laba rugi komprehensif, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas dan catatan pada laporan keuangan.

5.         Daftar Pustaka

John, F Sonoto. 2013. Politik Luar Negeri terhadap Akuntansi di Indonesia:Jurnal Akuntansi Vol 1. No.1