Kamis, 02 Mei 2013

sumber daya alam indonesia (hayati)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kondisi
Kekayaan sumberdaya hayati Indonesia saat ini diperkiraan sedang mengalami penurunan dan kerusakan. Krisis keanekaragaman hayati ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor , yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Faktor-faktor ini dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu faktor teknis dan faktor struktural.
1. Faktor Teknis
Ada 3 (tiga) aspek yang masuk kedalam kategori faktor teknis yaitu kegiatan manusia, teknologi yang digunakan, dan kondisi alam itu sendiri. Ketiga aspek ini diperkirakan mampu menimbulkan kerusakan dan kepunahan keanekaragaman hayati seperti yang diuraikan berikut ini:
a. Faktor kegiatan Manusia
  • Kesadaran, pemahaman dan kepedulian yang rendah
  • Pemanfaatan berlebih
  • Pemungutan dan perdagangan ilegal
  • Konversi habitat alami
  • Monokulturisme  dalam budidaya dan pemanfaatan
  • Tekanan penduduk
  • Kemiskinan dan keserakahan
b. Pemilihan Teknologi
Beberapa jenis teknologi, teknik dan alat untuk pemanfaatan keanekaragaman hayati dapat menimbulkan kerusakan pada ekosisem. Jenis alat yang diketahui merusak habitat sumber daya hayati pesisir adalah penggunaan alat pengumpul ikan, bahan peledak, bahan beracun dan pukat harimau.
Di bidang pertanian, teknologi pertanian yang intensif, misalnya revolusi hijau (untuk padi) dan revolusi biru (untuk pertambakan udang) telah mengubah cara budidaya polikultur yang kaya spesies dan kultivar dengan budidaya monokultur.
Di laut, sumber pencemaran adalah tumpahan minyak dari kapal, dan kegiatan industri. Sedangkan diperairan tawar, sumber pencemar kebanyakan dari limbah kegiatan industri dan rumah tangga.
c. Faktor Alam
Salah satu faktor alam yang bisa mempengaruhi kerusakan dan penyusutan keanekaragaman hayati ialah Perubahan iklim global. Perubahan iklim global, yang disebabkan antara lain oleh pemanasan global, mempunyai pengaruh pada sistem hidrologi bumi, yang pada gilirannya berdampak pada struktur dan fungsi ekosistem alami dan penghidupan manusia. Beberapa tahun terakhir ini, perubahan iklim telah berdampak pada pertanian, ketahanan pangan, kesehatan manusia dan permukiman manusia, lingkungan, termasuk sumber daya air dan keanekaragaman hayati. Dampak yang mudah terlihat adalah frekuensi dan skala banjir dan musim kering yang panjang, yang terjadi di banyak bagian dunia, termasuk Indonesia.
2. Faktor Struktural
Ada dua akar persoalan atau masalah struktural. Pertama, paradigma pembangunan yang dianut oleh pemerintah selama era 1970-an hingga 1990-an dan kedua, belum terbentuk tata kelola  (good governance) yang baik.Kedua pangkal persoalan tersebut menimbulkan masalah  struktural di bawah ini:
a. Kebijakan Eksploitatif , Sentralistik, Sektoral dan Tidak Partisipatif
Paradigma pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah untuk melakukan sentralisasi pelaksanaan pembangunan dan penguasaan sumber daya untuk pembangunan, termasuk sumber daya alam (Barber , 1996).
b. Sistem Kelembagaan yang Lemah
Indonesia belum mempunyai sistem yang kuat dan efektif untuk pengelolaan keanekaragaman hayati. Akibatnya, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan lestari keanekaragaman hayati belum terpadu. Pengelolaan keanekaragaman hayati dilakukan oleh berbagai lembaga tanpa mempunyai wewenang hukum yang jelas.Koordinasi dan integrasi program di antara para pengelola amat lemah, salah satunya karena tidak ada arahan nasional yang kuat dan diakui yang mendasari perencanaan setiap sektor . Akibatnya keputusan yang dibuat sering parsial, seperti yang telah diuraikan di atas, dan bahkan keputusan satu sektor bisa bertentangan dengan sektor lainnya (Wetlands Indonesia Programme, 2003).
Kelemahan di segi kelembagaan juga mempengaruhi koordinasi pelaksanaan kewajiban terhadap berbagai konvensi internasional, misalnya KKH, Konvensi Ramsar dan CITES. Koordinasi dan integrasi program di antara para pengelola amat lemah, salah satunya karena tidak ada arahan nasional yang kuat dan diakui yang mendasari perencanaan setiap sektor. Akibatnya keputusan yang dibuat sering parsial, seperti yang telah diuraikan di atas, dan bahkan keputusan satu sektor bisa bertentangan dengan sektor lainnya (Wetlands Indonesia Programme, 2003).
 c.  Sistem dan penegakan hukum yang lemah
Pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari sulit terjadi karena sistem dan instrumen hukum yang ada masih lemah. Lembaga penegakan hukum sering tidak memahami substansi hukum yang terkaitan dengan keanekaragaman hayati. Sistem judisial juga belum profesional dan otonom sehingga menyulitkan penegakan hukum. Semuanya ini diperparah oleh keterbatasan dana, sumber daya manusia serta infrastruktur yang memadai untuk penegakan hukum (KLH, 2002).
Karena perumusan kebijakan sering tidak melibatkan partisipasi publik, kalangan masyarakat tidak mengetahui adanya kebijakan tersebut, sehingga tidak dapat membantu penegakannya. Lebih jauh, kadang-kadang aparat di daerah tidak mengetahui atau tidak peduli dengan kebijakan yang telah dibuat di pusat. Dan yang terakhir , banyak kebijakan berbeda dari hukum adat yang berlaku di masyarakat sehingga kadang-kadang sulit diterima oleh masyarakat.
Sampai Kapankah akan terus seperti ini, tergantung pada kita mau seperti apa masa depan sumber daya alam Indonesia, semakin diperbaiki ataukan malah semakin hancur.. !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar